Matahari
belumlah sampai di puncak kepala, tetapi terik dan panasnya udara sudah
membuatku berkeringat sehabis berjalan menuju Pasar Baledono, Purworejo, Jawa
Tengah. Sekitar dua ratus meter dari pintu gerbang pasar, sebuah spanduk
berwarna hijau yang melambai ditiup angin mencuri perhatianku untuk membaca
tulisan yang tertera, "enak juga kayaknya, bolehlah mampir
sebentar..." Benakku ternyata sejalan dengan langkah kakiku untuk
menghampiri spanduk hijau bertuliskan Warung Es Dawet Ireng Khas Purworejo.
Tampak dari
luar, sebuah bangunan semi permanen yang sangat sederhana. Anyaman bambu dan
triplek sebagai dindingnya, Susunan genteng tanah liat sebagai atap, melindungi
interior di dalamnya dari terik matahari, dan berbilah-bilah bambu di beberapa
sudut ruangan sebagai penopangnya. Sejenak, lupakanlah desain interior yang
mewah, lupakan kenyamanan duduk di kursi berbusa yang empuk atau sofa panjang yang
mewah, dan lupakan juga buku menu dengan beragam jenis makanan luar negeri yang
harganya mahal serta mungkin namanya saja susah untuk disebutkan.
Sambil
sesekali menyeka keringat yang menetes di kening, aku memperhatikan
kesederhanaan seisi interior warung seraya menghela nafas. Empat buah gentong
yang terbuat dari gerabah tanah liat tampil mencolok di tengah interior warung.
Sebuah nampan dari anyaman bambu menjadi wadah bagi beberapa mangkuk dan gelas
kaca. Segenggam penuh sendok kecil dari aluminium terkumpul rapih dalam sebuah
batok kelapa yang sudah dikeringkan.
Keadaan warung belumlah ramai ketika aku datang, sebuah meja kayu persegi panjang terpampang sejajar dengan bangku kayu panjang yang kami duduki. Saat itu hanya ada aku dan dua orang pembeli yang sedang berbincang seraya menunggu sajiannya datang, serta seorang ibu yang sedang mempersiapkan sebuah racikan terbaiknya untuk para penikmat kuliner yang telah menantinya.
“Ibu, Es Dawet
Ireng satu mangkuk…” Permintaanku langsung dibalas dengan senyum ramah sang
Ibu, dan beliau segera meracikkan aku semangkuk Es Dawet Ireng yang kuminta. Inilah
menu pembuka dari ‘Nyasar’ kulinerku hari ini di sekitar Pasar Baledono,
Purworejo, Jawa Tengah.
Dawet Ireng
merupakan minuman tradisional khas dari Desa Butuh, salah satu desa di Purworejo,
Jawa Tengah. Dawet Ireng biasanya disebut sebagai minuman cendolnya orang Jawa.
Cendolnya berwarna hitam, atau dalam bahasa Jawa disebut "ireng".
Warna hitam dari dawet ini berasal dari daun sekam atau daun padi kering atau
oman yang terlebih dahulu dibakar hingga menjadi abu, kemudian abu hasil
pembakaran ini dicampur dengan air dan adonan tepung beras, lalu dimasak hingga
matang, sehingga menghasilkan warna hitam. Setelah matang, adonan dawet yang
kental ini kemudian disaring dan didinginkan, sebelum siap untuk diracik
bersama kuah santan dan air gula merah sebagai pemanis rasa dawet. Dengan ditambahkan
es batu atau es yang diserut kasar, atau bisa pula ada pula tambahan topping lainnya, seperti tape ketan atau
potongan buah-buahan. Dengan semua topping
tersebut, Dawet Ireng akan semakin nikmat dan menyegarkan untuk diminum di
siang atau sore hari.
Buatku, satu
mangkuk Es Dawet Ireng rasanya belum bisa memadamkan panasnya dahaga dari terik
matahari dan udara panas siang ini. Setelah mangkuk ketiga barulah aku merasa
cukup. Mungkin, aku ketagihan bukan hanya karena rasanya tapi suasana
kesederhanaan warung ini yang membuatku betah duduk berlama-lama.
"Ibu,
minta satu lagi untuk dibungkus..." Permintaanku ini hanya dibalas
geleng-geleng kepala dari sang Ibu seraya tertawa.
0 comments:
Post a Comment