Ada kalanya aku
memilih diam, seksama mendengarkan bait demi bait puisi berbalut nada yang
mengalun santai di telingaku melalui earphone
dari sebuah MP3 Player, ketika aku menggowes
sepeda menuju sebuah tempat yang paling aku tahu kesejukan tempatnya dan
suasana yang mampu membuat perasaanku tenang, selain itu pastinya ada sajian
kuliner yang enak disana.
Sepeda terus
aku kayuh hingga ke perbatasan desa, hamparan sawah mulai terbentang dari
kejauhan. Tepat sebelum gerbang desa, sebuah warung sederhana layaknya warung
Es Dawet Ireng di pasar menyapa seakan memanggilku untuk mampir. Warung ini
adalah tempat favoritku untuk menghabiskan sore dengan menyendiri. “Es Tape
Ketan, ubi bakar dan kue cenil, bawa ke belakang yah buu…” Pemilik warung ini
sudah kenal baik denganku, bahkan sejak aku kecil, ketika hampir setahun tiga
kali aku selalu pulang mudik. Beliau adalah seorang tetangga yang tinggal tidak
jauh dari rumah pamanku. Aku biasanya memesan makanan atau minuman, lalu minta
dibawakan ke belakang. Karena di sini aku punya 'the spot' yang hanya aku saja
yang diperbolehkan masuk ke sana.
Mungkin bagi
sebagian orang, tak ada yang istimewa dari 'the spot' milikku ini. Beberapa
petak sawah terhampar di hadapan mata. Saat itu baru saja waktunya selesai
tanam padi, sehingga warna yang dominan di sawah adalah warna hijau yang begitu
menyegarkan mata. Segera aku mencari sebuah jalan setapak yang tertutup rumput
liar, dan ketika menemukannya aku segerakan langkah kakiku menapaki jalanan
menurun menuju sebuah jalur terasering untuk pengairan sawah.
Aku tak perlu
lagi MP3 player, atau kamera DSLR Canon 1100D milikku. Aku hanya cukup diam,
menutup mata, dan mendengarkan gemercik air yang mengalir deras dari pengairan.
Desahan daun yang bergesekan di antara tiupan angina dan kicauan burung yang
sesekali terdengar di kejauhan dahan pohon. Sungguh sebuah stereo alam yang menggema
di dalam pendengaranku, "mas Uta, ini sudah jadi pesanannya..." Suara
sang pemilik warung menyadarkan lamunanku, dengan segera aku jawab panggilannya
dan aku menghampirinya untuk mengambil pesananku.
Biasanya aku
di sini sampai sore untuk melihat matahari tenggelam di ufuk barat. Melihat
pemandangan itu membuatku bersyukur bahwa aku masih hidup dan masih bisa
menikmati segala karunia Tuhan Yang Maha Kuasa. Ternyata, sekenyang apapun aku
makan hari ini, sepertinya godaan untuk terus makan tak pernah berhenti.
Ternyata kalau memang sudah aku niatkan untuk wisata kuliner, yah berarti
benar-benar makan lagi dan makan lagi.
0 comments:
Post a Comment