Janji untuk
sampai di rumah sebelum magrib, aku tepati. Pamanku juga sudah sampai di rumah
dan bersiap menuju Langgar atau Mushola untuk menunaikan salat magrib. Sebelum
beliau memanggilku, aku sudah langsung menghambur ke kamar mandi dan ikut
bersiap menyusulnya ke Langgar. Entah kenapa, aku selalu suka salat berjamaah
di Langgar, perasaan tenang dan begitu khusyuk rasanya berkomunikasi dengan
Allah SWT dalam salat dan zikir.
“mas, aku
nanti mau jalan ke alun-alun, mau ikut?” Ajakan sepupuku seusai salat ini tak
mungkin aku tolak, karena aku tahu di sekitar Alun-alun Purworejo pasti banyak
bertebaran makanan enak.
Laju sepeda
motor membelah udara dingin malam, aku mendongak ke atas, sosok rembulan seperti
malu dan menutup diri di balik awan tipis. Tak lama berkendara, aku sampai di
Alun-alun Purworejo. Alun-alun merupakan ciri khas pola tata kota pemerintahan Jawa
Kuno, di mana alun-alun berperan sebagai jantung kota, yaitu berupa sebuah taman
terbuka yang luas dan ditengahnya berdiri satu atau dua pohon beringin. Kalau
di alun-alun Purworejo, di tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang
didatangkan langsung dari Keraton Yogyakarta. Alun-alun Purworejo merupakan
alun-alun yang cukup luas. Mungkin yang terluas di Jawa Tengah. Luas alun-alun ini
sekitar enam hektar atau 60.000 meter persegi dengan bentuk segi empat. Baik
panjang maupun lebar ukuranya hampir sama.
Alun-alun ini
merupakan magnet bagi segala aktivitas, mulai dari olah raga, berjalan-jalan, bahkan
berbisnis juga banyak dilakukan di sini, dan bisnis kuliner di malam hari
adalah yang paling dicari oleh masyarakat atau para pengunjung yang datang ke
Purworejo. Dari pengetahuanku, sudah lebih dari dua puluh tahun keberadaan
warung-warung tenda yang menjajakan aneka masakan tradisional Jawa di
sekeliling Alun-Alun Purworejo ini. Beragam kuliner mulai dari wedang ronde,
bubur, ayam goreng, burung dara goreng, soto, sop, dan lainnya, lengkap
tersedia disini.
Sambil berkeliling alun-alun, aku menebar pandangan ke setiap tulisan di spanduk warung-warung tenda di pinggir jalan. Nasi Koyor Khas Purworejo, sebuah nama kuliner yang asing bagiku, “nasi koyor? Makanan apa itu dek?” Sepupuku hanya mengacungkan jempolnya sebagai jawaban. Berikutnya, kami menuju sebuah ‘kantung’ parkir yang secara swadaya dikelola oleh masyarakat yang bekerja sama dengan pemerintah daerah, untuk menyediakan lahan yang aman da memadai guna menampung kendaraan-kendaraan para pengunjung Alun-Alun Purworejo, hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan kemacetan di kawan alun-alun karena banyaknya kendaraan yang parker sembarangan. Sungguh sebuah inisiatif dan kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah daerah.
Sambil
berjalan di trotoar, kami bertukar cerita tentang kehidupan di kampung dan di
kota, tak lama kami berjalan, sebuah warung tenda bertuliskan Nasi Koyor Khas
Purworejo kembali terlihat di hadapanku. Kesan pertama aku melihat warung ini
adalah penuh sesak. Begitu banyak pembeli yang makan sambil lesehan atau duduk
bersimpuh di lantai. “kita pesan dan makan di luar saja mas, kalau penuh begini
repot..” Sepupuku mengusulkan sebuah ide yang sepertinya bagus, segera dia
memesan dua porsi Nasi Koyor, lalu kami tunggu di luar. “apa sih sebenarnya
nasi koyor itu?” Tanyaku yang akhirnya jadi bahan obrolan panjang sembari
menunggu pesanan kami datang.
Koyor itu
adalah sebutan untuk kikil atau urat sapi dalam Bahasa Jawa. Koyor yang
terkenal alot dan keras, oleh para juru masak kampung yang keahliannya sudah
diturunkan secara turun temurun ini telah melewati beragam proses dan dimasak
dalam waktu yang lama. Sehingga dagingnya benar-benar empuk, dan tanpa
perlawanan ketika digigit. Koyor juga sejenis sop dengan kuah gulai santan yang
kental, aromanya khas dan rasanya yang gurih namun pedas, cukup untuk membuatku
ketagihan.
“masih
mau nambah lagi mas…?” setidaknya itulah yang terucap dari sepupuku waktu
mengetahui aku yang sudah berlalu untuk menambah Nasi Koyor di porsi yang
ketiga.
0 comments:
Post a Comment