Setelah dahaga
terpadamkan oleh Es Dawet Ireng, aku mempersiapkan kameraku dan mulai
menjelajahi tiap sudut pasar untuk mencari objek foto yang menarik. Aku mulai
menjelajahi seisi pasar mulai dari lantai satu. Aktivitas yang terjadi disini
sungguh beragam, masyarakat yang datang tidak hanya untuk membeli barang-barang
yang dibutuhkannya dari para penjual, tetapi interaksi tatap muka dan
komunikasi dua arah adalah yang menjadikan setiap pasar begitu hidup di sepanjang
waktu. Dan benar saja, di setiap ruang dan sudut pasar, selalu terdapat beragam
momen menarik untuk diabadikan, dengan berbagai cerita di dalamnya.
Penjelajahanku
berlanjut ke lantai dua dan lantai tiga dari Pasar Baledono, Purworejo, Jawa
Tengah. Begitu banyak momen menarik yang berhasil aku abadaikan melalui kamera
DSLR Canon 1100D yang selalu jadi andalanku ketika traveling. Body dan bobot
kamera yang ringan dan full-handling,
membuatku leluasa dalam memotret dari berbagai angle dan sudut pandang. Mode pengaturan Canon 1100D juga sangat
mudah untuk disesuaikan dengan keinginan fotografer. Hal ini juga sangat
membantuku ketika aku menemukan satu momen dan butuh dengan cepat merubah
setting kamera sesuai keinginanku dan kembali memotret, sehingga aku tidak akan
ketinggalan momen. Kamera DSLR Canon 1100D juga mampu diaplikasikan dengan berbagai
jenis lensa dari Canon. Itulah juga yang menjadi alasan aku selalu membawa dua
atau tiga lensa yang berbeda dalam tas, agar mampu menghasilkan diversifikasi
hasil fotografi yang berkualitas.
Entah sudah
berapa lama aku memotret seisi pasar, mungkin dua jam sudah aku mondar-mandir.
Capek juga ternyata, dan perutku juga sudah mulai 'keroncongan' minta diisi
lagi. Sambil melangkah turun, aku masih mencari beberapa momen melalui view finder, dan tepat di sebelah kanan
setelah aku turun ke lantai satu, lensa kameraku membidik sebuah kedai yang
cukup penuh dengan antrian. Kepulan asap putih juga sesekali menyembul dari
balik celah ventilasi udara kedai itu. Pemandangan itu meyakinkanku bahwa di
sana ada makanan enak.
Sebuah papan
triplek besar bertuliskan Sedia : Mie Lethek Pakde Kumis. Sejenak aku berhenti,
dan memperhatikan tulisan itu, "mie lethek? makanan kayak apa ya?"
belum sempat jawaban itu terfikir, semerbak aroma terlebih dahulu menyeruak dan
dengan cepat merasuki rongga penciumanku. Sudah tak peduli lagi akan jawaban
dari pertanyaan fikiranku sebelumnya, karena yang aku tahu, aku harus bisa
mencicipi kuliner mie yang beraroma sangat sedap ini.
“Pak, Mie
Lethek Goreng satu porsi…!” Seorang pria berteriak cukup keras disebelah
kupingku, dan dia berhasil membuyarkan lamunanku ketika baru saja duduk dalam
kedai. Meskipun berada di kawasan pasar tradisional, keberadaan kedai mie ini
cukup nyaman dan kebersihannya juga terjaga. Empat buah kipas angin besar juga
tergantung di langit-langit kedai untuk memberikan kesejukan udara.
Akhirnya aku
juga memesan Mie Lethek Goreng sebagai santap siangku hari ini. Sambil menunggu
pesananku datang, aku telusuri tentang Mie Lethek di www.google.co.id dan aku dapatkan informasi
yang sangat menarik tentang sejarah mie ini di Indonesia. Mie Lethek adalah
sebuah kuliner tradisional dari Bantul, Yogyakarta, Jawa Tengah, mie ini
awalnya dibawa oleh para pedagang Tiongkok ketika zaman penjajahan Belanda.
Seiring berjalannya waktu, para juru masak yang dahulu bekerja di pabrik pembuat
mie lethek milik pedagang Tiongkok, mulai mengadaptasi dan memodifikasi kuliner
mie Tiongkok ini sebagai makanan khas dari Bantul. Tapi, ada satu hal yang
tidak pernah berubah dari ciri khas Mie Lethek, yaitu mie yang terkenal ini,
warnanya putih keruh. Karena itu disebut Mie Lethek, yang dalam orang Jawa,
"lethek" berarti kotor atau kusam. Tapi soal rasa, Mie Lethek punya
cita rasa yang khas dibandingkan mie lain. Kenapa? Karena dalam pembuatannya,
Mie Lethek masih menggunakan resep, tata cara, dan peralatan tradisional yang
sama, dan secara turun temurun. Jadi keaslian dan kualitas rasanya tetap
terjaga.
0 comments:
Post a Comment