Maret 2011
Sebuah vonis dijatuhkan dalam sebuah
persidangan. Ini vonis bukan
sembarang vonis, tapi vonis kenyataan hidup. Karena dinyatakanlah aku lulus dari gelar
mahasiswa dan mendapatkan gelar Sarjana Sastra Bahasa Jepang.
Setelah keluar dari ruangan sidang, salah
satu dosen bertanya ”mau ngapain setelah ini?”
Satu jawabanku “mau ke Bromo”.
Di
saat ini ingin kuterlena lagi
Terbang
tinggi di awan
Tinggalkan
bumi di sini
Di
saat ini ingin kumencipta lagi
Kan
kutuliskan lagu
Sambil
kukenang wajahmu
Malam
panjang, remang-remang
di
dalam gelap aku dengarkan
Syair
lagu kehidupan
Ian Antono – Syair Kehidupan
Bersahutan denting dawai-dawai dalam
resonansi tabung gitar kayu, nada demi nada mengisi ruang hampa dan isi, entah
apa yang dirasuki. Jiwa datang raga pergi atau sebaliknya kala Tuhan inginkan
kita. Satu persatu beriringan, jemari berganti posisi seakan menari walau kaki
menapak bumi, Tuhan hadirkan kau saat ini untukku, dengan suara sengaumu tak
peduli lagi aku nilai merdu, karena sahabatmu disini mendengarkan lagumu.
”Turu
sek mas, nanti tak gugah jam telu..” seakan bisa membaca gelagat tubuhku
yang lelah, Tarjo masih bertahan dengan gitar tuanya. Dia bukan perokok
sepertiku, walaupun warga asli keturunan Desa Bromo Tengger, selama bernyanyi
mulutnya selalu mengeluarkan uap.
”Wes
ngene wae, turu kene yo keno aku rek.. wes kepenak..” secangkir kopi
hitam dan sebatang rokok kretek membantu stigma bahwa aku tidak harus menggigil
malam ini, tepat pukul 23.30 WIB aku menguap untuk yang kesekian kalinya.
”Iyolah
sak karepmu.. nek tak gugah ora tangi ojo nyesel lho..” sambil
menggantungkan gitar tuanya, ancaman Tarjo terdengar serius di telingaku.
”Guyur
no karo kopi cak, nek aku moh tangi...” sambarku sambil merebahkan badan di
sebuah kursi kayu panjang yang aku anggap sebagai ”king
size bed”.
03.10 WIB
Jangankan melangkahkan kedua kaki, untuk
meluruskan tubuh beberapa sentimeter saja sepertinya butuh niat dan perjuangan
yang kuat. Memang manusiawi, ketika udara dingin yang paling nyaman adalah
tertidur meringkuk sambil berlindung dibalik selimut. ”Nek rep turu, mulih wae nang omahmu..” sindiran Tarjo tidak salah,
buat apa jauh-jauh ke Tengger kalau hanya menyerah dan meringkuk karena
kedinginan.
Deru mesin mobil Jeep Hardtop pabrikan Jepang seakan enggan meyadarkan kantukku
dalam perjalanan menelurusi punggung bukit. Seteguk air mineralpun terasa bagai
air kulkas yang sudah disimpan selama seharian penuh, dingin sekali. Gubrakk!!
Tiba-tiba mobil berjenis offroad
dengan penggerak empat roda ini berguncang cukup keras, sontak saja membuka
kesadaranku yang sebelumnya nyaris terlelap
lagi. ”Wes tangi cak?” ledek Tarjo
yang sepertinya sengaja menabrakkan mobil di sebuah batu di tengah jalan agar
membangunkan para penumpang di mobilnya. ”Wes
cuk.. wes tangi..” dampratku ke Tarjo yang kemudian tertawa puas.
Proses, bahkan sebuah mantra simsalabim saja membutuhkan sebuah proses untuk mewujudkannya, dan proses itulah yang aku jejaki satu persatu, kudaki tiap sentimeternya dan merefleksikan tujuannya di depan mata. ”Awakmu iku ora ono jiwane po? Mlaku sediluk mandek, pirang langkah munggah mandek, kesuen sampean cak.. wong lio wes tekan ngarep, sampean nang mburi wae ora ono gerak’e..” sekali lagi Tarjo mengkritikku tajam karena menurutnya proses yang aku lakukan bertele-tele dan terkesan tanpa hati. Dua tiga nafas tersengal satu persatu, seperti akan habis aku berebut oksigen yang tipis di sini.
Tiap sentimeter langkah kaki, tiap itu
pula nafas berhembus. Ingatan akan penulisan skripsi liar membayang khayalan.
Masih segar dalam ingatan ketika menulis kata demi kata hingga beberapa
kalimat, membuat ”jembatan” dengan teori-teori demi mengokohkan satu paragraf
pamungkas, serta bernarasi ria untuk memenuhi kuota penulisan agar tiap lembar
terlihat banyak dan padat berisi. Kemudian, setelah berjibaku dengan kantuk
yang luar biasa, akhirnya harus menahan emosi kala hasil pemikiran semalam mendapat
banyak koreksi dengan tinta merah dari dosen pembimbing skripsi. Begitu
seterusnya selama setengah tahun, tanpa menyerah. Ingatan itulah yang
menggerakan tubuh dan kedua kaki ini tanpa berhenti hingga mendaratkan jejak di
puncak tertinggi, Gunung Bromo.
”Kebanggaan atau kepuasan yang lebih esensial bagimu?” entah kenapa Tarjo bertanya itu saat aku megap-megap menghirup oksigen yang seakan enggan masuk dalam hidungku. ”Rasano dewe.. ngerokok wae.. ben megap-megap..” belum satu huruf vokal ataupun huruf konsonan aku ucapkan, Tarjo sudah terlebih dulu meledekku lagi, malas rasanya menjawab pertanyaannya itu.
Tuhan tidak akan menciptakan segala
sesuatu di kehidupan ini dengan sia-sia atau tanpa makna bagi seluruh insan-Nya
di alam semesta. Melihat dan merasakan langsung kuasa-Nya adalah mukjizat
tersendiri bagiku saat ini. Langit yang sebelumnya bertebaran titik-titik
bintang, lambat laun bergradasi. Awalnya hanya sebuah titik kecil, kemudian
berpendar cahayanya memebuhi angkasa, sayap apinya bagai kibasan aurora di antartika, merubah kontras
warna langit saat itu, perpaduan antara merah, oranye dan kuning yang
mengagumkan. Untuk kesekian kalinya dalam hidupku aku menemuinya, namun kali
ini aku saksikan wujud mengagumkannya, seakan dialah yang memutar waktu
kehidupan di dunia. Selamat Pagi Surya.
Tangannya meraih pundakku, ”Aku ingin
dengar jawaban pertanyaanku itu saat kita di atas sana..” jari telunjuknya
mengarahkan mata ke satu titik, cahaya surya menyinari puncaknya, mengukuhkan
arti atas kalimat seorang sahabat, sebuah perjalanan setelah hari ini, menuju Mahameru.
0 comments:
Post a Comment