Si Mbah, 12.35 WIB
Walau tak tepat waktu, begitu tenang rasanya kala selesai aku tunaikan ibadah salat wajib urutan kedua pada hari ini. Merambat melalui frekuensi udara dan mengalun bagai lagu dalam gaung peron stasiun kereta dengan tenang, lantang dan memberikan informasi dengan lengkap, "Kepada para penumpang Kereta Api Kelas Ekonomi Matarmaja, mengawali perjalanan dari Stasiun Pasar Senen hingga Stasiun Malang, silahkan mempersiapkan diri di peron jalur 4..." itulah suara sang-announcer Stasiun Kereta Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Walau tak tepat waktu, begitu tenang rasanya kala selesai aku tunaikan ibadah salat wajib urutan kedua pada hari ini. Merambat melalui frekuensi udara dan mengalun bagai lagu dalam gaung peron stasiun kereta dengan tenang, lantang dan memberikan informasi dengan lengkap, "Kepada para penumpang Kereta Api Kelas Ekonomi Matarmaja, mengawali perjalanan dari Stasiun Pasar Senen hingga Stasiun Malang, silahkan mempersiapkan diri di peron jalur 4..." itulah suara sang-announcer Stasiun Kereta Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Satu persatu, bagai langkah kaki Paskibraka menderap pasti, makin jelas terdengar mendekati ruang telinga, dan makin nampak sosok teguh sang Kereta Api Kelas Ekonomi Matarmaja, jurusan Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Malang tiba dihadapan.
Perjalananku baru akan dimulai, tapi aku sudah dua kali salah masuk gerbong. ”belum apa-apa sudah nyasar, bakalan lanjut nih jadi kebiasaan..” Fikirku setelah akhirnya berhasil mendapatkan bangku dengan nomor yang benar. Aku sedikit berkhayal, untuk duduk bareng seorang gadis cantik, baik hati, ramah, jomblo dan membutuhkan belaian laki-laki selama perjalanan dalam kereta hari ini. Sambil menebar pesona kepada beberapa ”mangsa” yang sibuk mencari bangku sambil melewati dan melihat kearahku, tapi tak ada satupun yang terpancing. Hingga akhirnya harapanku pun sirna sudah, aku satu bangku dengan seorang nenek. (dibaca: mbah)
CangCiMen, 18.40 WIB
Kereta masih berhenti di sebuah stasiun antah berantah selama hampir setengah jam. Bosan menunggu di dalam kereta yang udaranya hampir mirip dengan kamar sauna massal, aku memutuskan untuk turun dari kereta dan menunaikan ibadah salat wajib urutan ketiga pada hari ini di sebuah Mushola. Angin semilir menerpa wajah yang masih dibasahi oleh air wudhu, seakan melunturkan segala keluh kesah dan lelah. Selesai salat, aku keluarkan kameraku dan memperhatikan kondisi peron stasiun yang sudah berumur tua. “Pasti peron ini memiliki jutaan cerita dan telah menjadi saksi atas banyaknya kejadian” fikiranku seakan dapat melihat masa lalu dari peron stasiun yang sudah tua ini.
Hingga tiba-tiba muncul sebuah suara membuyarkan lamunan, “CangCiMen… CangCiMen… CangCiMen…sambil nunggu kereta anjlok”. Apaaa…!!!?? Kereta Anjlok…!!!?? Pantas saja ini kereta berhenti di setiap stasiun hampir selama setengah jam.
Hanya bisa pasrah dan diam saja, daripada semakin merusak suasana, pedagang yang berteriak ”CangCiMen” itu pun aku panggil mendekat. Sebungkus tembakau kretek aku beli dari etalase kecil yang digendongnya, sekaligus aku tanyakan apa arti dari teriakannya itu, dan dengan lugas dia menjelaskan tehnik marketing yang unik dalam menjajakan dagangannya itu. “Itu mah singkatan mas, dari kacang, kuaci, permen…” ternyata pedagang asongan pun punya bahasa sendiri yang unik. “Malah mas ya, sebelum saya jualan ini, saya jualan buku di kereta. Begini caranya jualannya… CaLisTung.. CaLisTung.. CaLisTung.. yang artinya baca, tulis, berhitung..” Benar-benar bahasa yang arbitrer.
Bebaskan Pagi, 23.08 WIB
”Cirebon.. Cirebon.. Yang Turun Cirebon..!!” Suara nyaring dari luar jendela menyadarkan lelap dari bawah sadar, masih sedikit buram pandangan ketika berseliweran para barista kopi instan melangkahi satu persatu dari kami yang terhimpit dalam suasana pengapnya kereta ekonomi.
Sejak berhenti di Cirebon, aku tak bisa tidur lagi. Entah menikmati insomia atau mencabangkan khayalan dan melamun hingga tak terasa waktu ibadah salat urutan pertama di hari ini sudah tiba. Suasana kereta sedikit lengang karena hari keberangkatan yang berlawanan dengan hari mudik mingguan. Aku leluasa berdiri di ambang pintu kereta sambil menikmati segelas kafein seduh yang tersaji hangat sembari menghisap sekumpulan asap dari sebatang nikotin diantara jari telunjuk dan jari tengah, dan ditemani hembusan angin dalam sejuknya udara saat fajar dari timur yang perlahan merangkak naik dan menyinari hamparan petak sawah.
Perjalananku baru akan dimulai, tapi aku sudah dua kali salah masuk gerbong. ”belum apa-apa sudah nyasar, bakalan lanjut nih jadi kebiasaan..” Fikirku setelah akhirnya berhasil mendapatkan bangku dengan nomor yang benar. Aku sedikit berkhayal, untuk duduk bareng seorang gadis cantik, baik hati, ramah, jomblo dan membutuhkan belaian laki-laki selama perjalanan dalam kereta hari ini. Sambil menebar pesona kepada beberapa ”mangsa” yang sibuk mencari bangku sambil melewati dan melihat kearahku, tapi tak ada satupun yang terpancing. Hingga akhirnya harapanku pun sirna sudah, aku satu bangku dengan seorang nenek. (dibaca: mbah)
CangCiMen, 18.40 WIB
Kereta masih berhenti di sebuah stasiun antah berantah selama hampir setengah jam. Bosan menunggu di dalam kereta yang udaranya hampir mirip dengan kamar sauna massal, aku memutuskan untuk turun dari kereta dan menunaikan ibadah salat wajib urutan ketiga pada hari ini di sebuah Mushola. Angin semilir menerpa wajah yang masih dibasahi oleh air wudhu, seakan melunturkan segala keluh kesah dan lelah. Selesai salat, aku keluarkan kameraku dan memperhatikan kondisi peron stasiun yang sudah berumur tua. “Pasti peron ini memiliki jutaan cerita dan telah menjadi saksi atas banyaknya kejadian” fikiranku seakan dapat melihat masa lalu dari peron stasiun yang sudah tua ini.
Hingga tiba-tiba muncul sebuah suara membuyarkan lamunan, “CangCiMen… CangCiMen… CangCiMen…sambil nunggu kereta anjlok”. Apaaa…!!!?? Kereta Anjlok…!!!?? Pantas saja ini kereta berhenti di setiap stasiun hampir selama setengah jam.
Hanya bisa pasrah dan diam saja, daripada semakin merusak suasana, pedagang yang berteriak ”CangCiMen” itu pun aku panggil mendekat. Sebungkus tembakau kretek aku beli dari etalase kecil yang digendongnya, sekaligus aku tanyakan apa arti dari teriakannya itu, dan dengan lugas dia menjelaskan tehnik marketing yang unik dalam menjajakan dagangannya itu. “Itu mah singkatan mas, dari kacang, kuaci, permen…” ternyata pedagang asongan pun punya bahasa sendiri yang unik. “Malah mas ya, sebelum saya jualan ini, saya jualan buku di kereta. Begini caranya jualannya… CaLisTung.. CaLisTung.. CaLisTung.. yang artinya baca, tulis, berhitung..” Benar-benar bahasa yang arbitrer.
Bebaskan Pagi, 23.08 WIB
”Cirebon.. Cirebon.. Yang Turun Cirebon..!!” Suara nyaring dari luar jendela menyadarkan lelap dari bawah sadar, masih sedikit buram pandangan ketika berseliweran para barista kopi instan melangkahi satu persatu dari kami yang terhimpit dalam suasana pengapnya kereta ekonomi.
Sejak berhenti di Cirebon, aku tak bisa tidur lagi. Entah menikmati insomia atau mencabangkan khayalan dan melamun hingga tak terasa waktu ibadah salat urutan pertama di hari ini sudah tiba. Suasana kereta sedikit lengang karena hari keberangkatan yang berlawanan dengan hari mudik mingguan. Aku leluasa berdiri di ambang pintu kereta sambil menikmati segelas kafein seduh yang tersaji hangat sembari menghisap sekumpulan asap dari sebatang nikotin diantara jari telunjuk dan jari tengah, dan ditemani hembusan angin dalam sejuknya udara saat fajar dari timur yang perlahan merangkak naik dan menyinari hamparan petak sawah.
Tekewer Ewer Ewer, 07.05 WIB
Kereta telah membawaku melewati Stasiun Gombong, dan... Cik..cik…cik.. cik..cik…cik.. Bunyi alat musik yang dibuat dari tutup botol aluminium bekas, sayup-sayup terdengar dari jauh suara yang sepertinya aku hafal, makin lama makin jelas terdengar. Aku yakin ini bukan kuntilanak, karena kalau kuntilanak makin jauh suaranya berarti makin dekat wujudnya dan begitu sebaliknya. Ternyata yang diperkirakan benar, hanya dalam beberapa detik, sesuatu itu mendekat tepat langsung ke dalam gerbong dan bangku pertama yang didatanginya adalah aku.
“Permisi mas… bude,… aaawww…!!! Lagunya Ridho Rhoma yah sayang? Sekian lama aku menunggu, untuk kedatangan mu… tekewer… ewer… ewer… ewer… datanglah, kedatanganmu kutunggu… tekewer… ewer… ewer… ewer… t'lah lama kedatanganmu ku tunggu… tekewer… ewer… ewer… ewer…” dua musisi jalanan ini benar-benar penghibur yang unik, dan ajaibnya mereka bisa membuat penghuni seisi gerbong riuh bersorak. Terkecuali aku yang diam tanpa kata dan tanpa ekspresi. (dibaca: takut)
Inilah Homo-Sapiens-Sing-Ora-Jelas-Ewer-Ewer. Biasa dikenal sebagai ‘Banci Ewer Ewer’, kenapa disebut demikian?
Jadi begini, mereka adalah para musisi jalanan yang bisa beraksi di kereta api ekonomi, para pengamen waria ini beraksi dengan pakaian dan dandanan ala penyanyi Sinden, lengkap dengan kebaya, konde atau sanggul serta make up yang bikin setiap mata melotot kalau melihatnya. keunikan dari mereka adalah pada lagu yang mereka nyanyikan, setiap bait liriknya ditambahkan kata-kata ‘tekewer… ewer… ewer… ewer…’ entah untuk apa maksudnya. Tapi suasana yang sebelumnya agak mencekam itu berubah menjadi suasana cukup membuat aku tertawa. Bahkan, sebelumnya aku yang agak takut dengan sang musisi ewer ewer tersebut, akhirnya jadi ikut-ikut bernyanyi sedikit.
Walaupun sudah dikasih uang, mereka tetap saja menyanyi sambil tersenyum genit dan sesaat sebelum mereka pergi, pipiku akhirnya kena colekan mesra dari salah satu banci ewer ewer… “jangan bengong donk mas, ntar gantengnya ilang loh… bye bye ganteng…” itulah pesan mesra untukku.
Jelas saja itu membuat si mbah tertawa ngakak. Akhirnya aku bisa mengikuti beberapa lagu mereka sambil menambahkan kata-kata ‘tekewer… ewer… ewer… ewer…’ di akhir baitnya. Kalau masih belom paham juga maksudnya, naik kereta api ekonomi dan buktikan sendiri keunikannya. Pokonya antara stasiun Gombong, Kebumen, Kutoarjo, Wates disanalah Tuhan akan mempertemukan dirimu dengan mereka.
Wasiat Si Mbah, 10.12 WIB
Kereta membawa kami hampir mencapai Stasiun Madiun, dimana nenek akan turun di stasiun tersebut. Ternyata, yang menjadi teman seperjalanan kali ini adalah seorang nenek yang luar biasa. Walau umurnya yang sudah mencapai enam puluh tiga tahun, selama lebih setengah masa hidupnya, beliau telah bergelut dengan berbagai mesin pemarut kelapa dan memiliki pengetahuan tentang bagaimana memperbaiki mesin pemarut kelapa tanpa sekolah mesin secara formal. Hingga saat ini, beliau masih menjalankan bisnis keluarganya tersebut dirumahnya di Madiun. Padahal nenek ini hanyalah lulusan Sekolah Rakyat pada tahun 1949.
Setelah menikah, nenek mulai memperhatikan ayah dan suaminya yang berjualan kelapa parut, dan dengan sendirinya nenek bisa mengoperasikannya. Bahkan secara otodidak nenek bisa memperbaiki mesin pemarut kelapanya sendiri. Jatuh bangun dalam menjalankan bisnis keluarganya tersebut, telah membuat nenek menjadi seseorang yang kuat mentalnya. Hingga saat ini, dari pekerjaannya tersebut, nenek telah dapat menghidupi keluarganya selama bertahun-tahun, hingga mengantarkan anaknya mendapatkan gelar magister. Akan tetapi, lima tahun lalu terjadi kecelakaan yang menimpa nenek.
Ketika nenek memperbaiki mesin pemarut kelapa. Secara tidak sengaja, saat membersihkan busi mesin, dia lupa menutup tempat penyimpanan bensin, akibatnya ketika mesin menyala dan busi didekatkan, timbul percikan api yang menyebabkan kebakaran pada mesin. Nenek menderita luka bakar dari bagian perut hingga sebagian muka sebelah kanan. Akan tetapi, nenek bukanlah sosok yang menyerah dengan keadaan. Keinginannya untuk sembuh sangat kuat dan dalam lima bulan, beliau segera kembali ke pekerjaannya untuk menjalankan lagi usahahnya di tengah keadaannya sekarang.
“Ini adalah pekerjaan yang saya seneng. Saya nggak pernah mimpi untuk melakukan pekerjaan ini sampai tua atau sampai keadaan saya jadi seperti sekarang ini. Yang penting saya ikhlas dan bersyukur, karena berkat pekerjaan ini, anak saya bisa jadi orang dan buat saya, nggak ada batasan antara ini pekerjaan laki-laki atau ini perkerjaan perempuan. Di dunia ini semua pekerjaan itu sama saja, asal kita bisa dengan baik dan senang menjalankannya, Insya Allah setiap apa yang kita lakukan dan apa yang kita dapat dari pekerjaan itu akan membuat kita selalu bersyukur” mata nenek berbinar menceritakan hidupnya kepada seorang pemuda yang baru beberapa jam yang lalu dikenalnya di Kereta Api Ekonomi Matarmaja.
Kereta telah membawaku melewati Stasiun Gombong, dan... Cik..cik…cik.. cik..cik…cik.. Bunyi alat musik yang dibuat dari tutup botol aluminium bekas, sayup-sayup terdengar dari jauh suara yang sepertinya aku hafal, makin lama makin jelas terdengar. Aku yakin ini bukan kuntilanak, karena kalau kuntilanak makin jauh suaranya berarti makin dekat wujudnya dan begitu sebaliknya. Ternyata yang diperkirakan benar, hanya dalam beberapa detik, sesuatu itu mendekat tepat langsung ke dalam gerbong dan bangku pertama yang didatanginya adalah aku.
“Permisi mas… bude,… aaawww…!!! Lagunya Ridho Rhoma yah sayang? Sekian lama aku menunggu, untuk kedatangan mu… tekewer… ewer… ewer… ewer… datanglah, kedatanganmu kutunggu… tekewer… ewer… ewer… ewer… t'lah lama kedatanganmu ku tunggu… tekewer… ewer… ewer… ewer…” dua musisi jalanan ini benar-benar penghibur yang unik, dan ajaibnya mereka bisa membuat penghuni seisi gerbong riuh bersorak. Terkecuali aku yang diam tanpa kata dan tanpa ekspresi. (dibaca: takut)
Inilah Homo-Sapiens-Sing-Ora-Jelas-Ewer-Ewer. Biasa dikenal sebagai ‘Banci Ewer Ewer’, kenapa disebut demikian?
Jadi begini, mereka adalah para musisi jalanan yang bisa beraksi di kereta api ekonomi, para pengamen waria ini beraksi dengan pakaian dan dandanan ala penyanyi Sinden, lengkap dengan kebaya, konde atau sanggul serta make up yang bikin setiap mata melotot kalau melihatnya. keunikan dari mereka adalah pada lagu yang mereka nyanyikan, setiap bait liriknya ditambahkan kata-kata ‘tekewer… ewer… ewer… ewer…’ entah untuk apa maksudnya. Tapi suasana yang sebelumnya agak mencekam itu berubah menjadi suasana cukup membuat aku tertawa. Bahkan, sebelumnya aku yang agak takut dengan sang musisi ewer ewer tersebut, akhirnya jadi ikut-ikut bernyanyi sedikit.
Walaupun sudah dikasih uang, mereka tetap saja menyanyi sambil tersenyum genit dan sesaat sebelum mereka pergi, pipiku akhirnya kena colekan mesra dari salah satu banci ewer ewer… “jangan bengong donk mas, ntar gantengnya ilang loh… bye bye ganteng…” itulah pesan mesra untukku.
Jelas saja itu membuat si mbah tertawa ngakak. Akhirnya aku bisa mengikuti beberapa lagu mereka sambil menambahkan kata-kata ‘tekewer… ewer… ewer… ewer…’ di akhir baitnya. Kalau masih belom paham juga maksudnya, naik kereta api ekonomi dan buktikan sendiri keunikannya. Pokonya antara stasiun Gombong, Kebumen, Kutoarjo, Wates disanalah Tuhan akan mempertemukan dirimu dengan mereka.
Wasiat Si Mbah, 10.12 WIB
Kereta membawa kami hampir mencapai Stasiun Madiun, dimana nenek akan turun di stasiun tersebut. Ternyata, yang menjadi teman seperjalanan kali ini adalah seorang nenek yang luar biasa. Walau umurnya yang sudah mencapai enam puluh tiga tahun, selama lebih setengah masa hidupnya, beliau telah bergelut dengan berbagai mesin pemarut kelapa dan memiliki pengetahuan tentang bagaimana memperbaiki mesin pemarut kelapa tanpa sekolah mesin secara formal. Hingga saat ini, beliau masih menjalankan bisnis keluarganya tersebut dirumahnya di Madiun. Padahal nenek ini hanyalah lulusan Sekolah Rakyat pada tahun 1949.
Setelah menikah, nenek mulai memperhatikan ayah dan suaminya yang berjualan kelapa parut, dan dengan sendirinya nenek bisa mengoperasikannya. Bahkan secara otodidak nenek bisa memperbaiki mesin pemarut kelapanya sendiri. Jatuh bangun dalam menjalankan bisnis keluarganya tersebut, telah membuat nenek menjadi seseorang yang kuat mentalnya. Hingga saat ini, dari pekerjaannya tersebut, nenek telah dapat menghidupi keluarganya selama bertahun-tahun, hingga mengantarkan anaknya mendapatkan gelar magister. Akan tetapi, lima tahun lalu terjadi kecelakaan yang menimpa nenek.
Ketika nenek memperbaiki mesin pemarut kelapa. Secara tidak sengaja, saat membersihkan busi mesin, dia lupa menutup tempat penyimpanan bensin, akibatnya ketika mesin menyala dan busi didekatkan, timbul percikan api yang menyebabkan kebakaran pada mesin. Nenek menderita luka bakar dari bagian perut hingga sebagian muka sebelah kanan. Akan tetapi, nenek bukanlah sosok yang menyerah dengan keadaan. Keinginannya untuk sembuh sangat kuat dan dalam lima bulan, beliau segera kembali ke pekerjaannya untuk menjalankan lagi usahahnya di tengah keadaannya sekarang.
“Ini adalah pekerjaan yang saya seneng. Saya nggak pernah mimpi untuk melakukan pekerjaan ini sampai tua atau sampai keadaan saya jadi seperti sekarang ini. Yang penting saya ikhlas dan bersyukur, karena berkat pekerjaan ini, anak saya bisa jadi orang dan buat saya, nggak ada batasan antara ini pekerjaan laki-laki atau ini perkerjaan perempuan. Di dunia ini semua pekerjaan itu sama saja, asal kita bisa dengan baik dan senang menjalankannya, Insya Allah setiap apa yang kita lakukan dan apa yang kita dapat dari pekerjaan itu akan membuat kita selalu bersyukur” mata nenek berbinar menceritakan hidupnya kepada seorang pemuda yang baru beberapa jam yang lalu dikenalnya di Kereta Api Ekonomi Matarmaja.
0 comments:
Post a Comment