Alun-Alun Kidul Kuto Solo, 07.45 WIB
Dentuman itu satu persatu
melambat bersambut dengan desis rem kereta yang menandakan perjalanan Lokomotif
Bengawan pagi hari itu telah mencapai tujuannya di Stasiun Solo Jebres, Kota
Solo.
Pagi yang hangat menguapkan hawa dingin dari dalam tubuh, silau matahari pagi menandakan sepertinya hujan enggan turun hari ini. Berarti, ini adalah awal yang baik untuk memulai sebuah perjalanan yang menarik di kota yang mempunyai banyak sudut yang artistik. Kota Surakarta atau lebih kita kenal dengan Kota Solo.
Kraton Surakarta Hadiningrat adalah yang menjadi tujuanku kali ini
Punya kebiasaan Nyasar selalu jadi bumbu dalam setiap perjalananku, dan “malu bertanya sesat di jalan” itulah sebuah pepatah tua yang selalu aku ingat dalam backpacking. Makanya aku bertanya arah tercepat untuk sampai ke Keraton, kepada seorang ibu penjual nasi liwet, “Ini lurus, nanti pertigaan ketiga, mas ke kidul, perempatan kedua ke kidul lagi saja, dari sana sudah dekat..” Itulah petunjuk sang penjual nasi liwet. Bagaimanapun aku coba mengingatnya, akhirnya aku salah ambil belokan dan tersadar setelah disapa oleh ibu penjual nasi liwet itu sekali lagi, “Lho kok sampe sini lagi mas? Nyasar yah?” tawa geli sang ibu penjual nasi liwet itu melihatku. Apalah artinya backpacking kalau tidak Nyasar, seperti nasi liwet tanpa ceker ayam dan sayur krecek. Kurang lengkap rasanya.
Pagi yang hangat menguapkan hawa dingin dari dalam tubuh, silau matahari pagi menandakan sepertinya hujan enggan turun hari ini. Berarti, ini adalah awal yang baik untuk memulai sebuah perjalanan yang menarik di kota yang mempunyai banyak sudut yang artistik. Kota Surakarta atau lebih kita kenal dengan Kota Solo.
Kraton Surakarta Hadiningrat adalah yang menjadi tujuanku kali ini
Punya kebiasaan Nyasar selalu jadi bumbu dalam setiap perjalananku, dan “malu bertanya sesat di jalan” itulah sebuah pepatah tua yang selalu aku ingat dalam backpacking. Makanya aku bertanya arah tercepat untuk sampai ke Keraton, kepada seorang ibu penjual nasi liwet, “Ini lurus, nanti pertigaan ketiga, mas ke kidul, perempatan kedua ke kidul lagi saja, dari sana sudah dekat..” Itulah petunjuk sang penjual nasi liwet. Bagaimanapun aku coba mengingatnya, akhirnya aku salah ambil belokan dan tersadar setelah disapa oleh ibu penjual nasi liwet itu sekali lagi, “Lho kok sampe sini lagi mas? Nyasar yah?” tawa geli sang ibu penjual nasi liwet itu melihatku. Apalah artinya backpacking kalau tidak Nyasar, seperti nasi liwet tanpa ceker ayam dan sayur krecek. Kurang lengkap rasanya.
Ternyata, tidak jauh berbeda
dengan kawasan sekitar keraton di Jogja, di kawasan keraton Solo juga dibatasi
dengan tembok yang cukup tinggi dan pintu atau pagar yang juga besar untuk
menandai kawasan khusus Sultan dan keluarganya dengan kawasan para abdi dalam
keraton dan daerah bagi masyarakat biasa.
Sebelum Indonesia ber-ideologi
demokrasi Pancasila, Kerajaan adalah ideologi yang menata kehidupan masyarakat
jaman dahulu dengan menempatkan harmoni diantara manusia sebagai tujuannya.
Karena itu, kawasan-kawasan tersebut masih dijaga dengan baik keadaannya dan
masih memiliki fungsi serta yang makna yang sama hingga saat ini dan masa yang
akan datang, demi menjaga harmoni masyarakatnya.
Pelataran Kedhaton, 09.33 WIB
Koridor ini lebih tepat disebut
sebagai museum Keraton Solo, karena wisatawan dapat memasuki beberapa ruangan
pameran yang memajang benda-benda pusaka Keraton Solo, seperti senjata keris,
tombak, tameng, panahan. Sebuah gerbang besar yang terbuka lebar menyambut
bersahaja masyarakatnya yang datang, seakan mengucapkan selamat datang dengan
senyum. Kekang kuda ditarik untuk menghentikkan laju kuda dan delman pun
berhenti di sebuah pelataran yang cukup besar. “Disini mas tempatnya,
silahkan…”. Langkah kaki ini seakan tak sabar memasuki sebuah bangunan yang
begitu artistik dihadapanku. Perpaduan antara arsitektur eropa dengan
arsitektur jawa menjadi ciri khas pintu masuk Keraton Solo.
Setelah membayar tiket masuk,
aku mulai mencari objek-objek serta sudut-sudut menarik untuk dipotret. Karena
hari ini adalah hari kerja dan aku datang saat pagi, jadi suasana di sana masih
tenang dan sepi.
Apa yang pertama terlihat di
dalam adalah sebuah koridor panjang yang dihiasi banyak lampu gantung bergaya
belanda. Koridor ini berbentuk persegi panjang dan terdapat sebuah taman yang
asri dan rindang ditengahnya. Sungguh sebuah perpaduan yang indah dan membuat
ku nyaman berjalan mengelilinginya.
beberapa kereta kencana, dan
lain-lain. Terdapat pula benda peninggalan penjajahan belanda seperti senjata
api laras panjang, meriam, pistol, seragam tentara belanda, pedang dan
lain-lain. Ada juga ruangan yang berisi lukisan-lukisan dan diorama yang
menggambarkan perjuangan rakyat Solo melawan penjajahan belanda. Bahkan,
terdapat juga benda-benda peninggalan zaman purbakala atau patung-patung
berusia ribuan tahun yang dipajang di salah satu ruangan.
Merinding Pertama, 09.55 WIB
Beberapa ruangan di lorong ini
pintunya terkunci rapat dan tidak dapat dimasuki. Aku masih berfikir positif
karena pengunjung belum ramai atau ruangan itu belum dibersihkan. Tetapi,
ketika aku melihat sebuah pintu tertutup yang gembok-nya terbuka, aku jadi
tambah penasaran ada apa didalam ruangan tersebut?.
Awalnya agak ragu untuk masuk
ke dalamnya, namun rasa ingin tahu ini lebih besar daripada rasa ragu dan
takut. Akhirnya aku nekat membuka pintu dan masuk kedalam ruangan tersebut.
Aku masuk ke dalam ruangan sengaja membawa gembok pintu tersebut, agar
pintu itu tidak kunci dari luar oleh abdi dalam yang mungkin sedang lewat dan tidak
menutup pintu itu dengan rapat agar aku dapat kabur dengan mudah apabila
terjadi sesuatu. Karena akses keluar dan masuk hanya ada di satu pintu itu
saja, semua jendela di tutup rapat dan diberi pengahalang besi seperti di
penjara.
Perasaan yang muncul pertama
kali saat memasuki ruangan ini adalah sepi. ruangan ini begitu gelap, lembab,
dan bertebaran wangi sesajian bunga dan menyan. Setelah menemukan stopkontak
lampu di samping pintu, 3 buah lampu 5 watt
menyala untuk sedikit menerangi ruangan berbentuk persegi panjang ini.
Ternyata, ruangan ini adalah ruangan penyimpanan benda-benda keramat milik
Keraton, sepertinya benda-benda ini dipakai saat upacara ritual adat jawa
Sekatenan, yang diselenggarakan pada malam satu suro. Hal ini terlihat dari
banyaknya sesajian bunga dan menyan yang terdapat di dalam ruangan. Semakin ke
dalam, aku semakin merinding.
Apa yang terdapat disini juga tidak kalah unik, ada senjata-senjata seperti
keris, tombak, panahan, pedang dan tameng yang di balut dengan kain putih. Ada
juga beberapa kotak kayu yang entah apa isinya, tetapi di sekeliling kotak
tersebut terdapat sesajian yang ditata rapih.
Dan yang terakhir di ujung
ruangan, berbaris rapih enam kepala patung kayu yang berwajah seram berukuran
besar, tingginya rata-rata sekitar 1,5 meter. Setiap kepala memiliki bentuk,
wajah dan warna yang berbeda, entah apakah kepala-kepala patung kayu yang
menyeramkan ini juga dipakai untuk upacara sekatenan?.
Setelah mengubah setelan
kamera digital ku dengan flashlight untuk kondisi nightmode, aku mulai memotret
satu persatu benda-benda dalam ruangan tersebut, dan tidak ketinggalan memotret
6 buah kepala patung yang menyeramkan tadi. Selesai memotret, aku mematikan
lampu ruangan dan keluar dari ruangan itu dengan mengembalikan seperti posisi
semula, yaitu pintu tertutup dengan gembok yang terbuka. Aku meninggalkan
ruangan itu dengan perasaan merinding dan lebih memilih untuk berjalan di taman
yang terang.
Kereta Kencana, 10.04 WIB
Setelah merindingku reda, aku
kembali memotret disekitar taman dan menemukan sebuah objek yang cukup menarik
disudut koridor. Terdapat sebuah kereta kencana yang sudah usang, berwarna
putih dengan arsitektur eropa dan disebelahnya tergantung cukup besar sebuah
lukisan wanita cantik sbagaikan seorang ratu dengan latar belakang lautan.
Ternyata ini adalah kereta kencana dari Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul.
Setelah membaca penjelasannya, aku merinding lagi.
Setelah dua kali merinding, aku mulai berfikir untuk meninggalkan Keraton
Solo dan memilih tempat wisata lain. Tetapi, Tiba-tiba sudut mata ini tertuju
pada sebuah gerbang di mana terdapat dua orang wanita turis asing sedang
dipakaikan kain batik yang menutupi celana pendek dan baju lengan pendek mereka
sebelum memasuki sebuah halaman yang luas di balik gerbang itu. Dengan rasa
penasaran tentang apa yang ada di balik gerbang tersebut dan pertanyaan kenapa
mereka harus repot-repot memakai kain batik hingga menutupi tubuh mereka, aku
melangkah pasti menuju gerbang itu dan menepis rasa takut yang hinggap tadi.
Joglo Kedhaton, 10.15 WIB
Sebelum mencapai gerbang, aku
dihentikan oleh seorang bapak abdi dalam keraton. Matanya yang secara seksama
memperhatikan aku dari atas sampai bawah, membuat ku berfikir kalau dia tahu
aku habis masuk ruangan tadi. Ternyata... “Selamat pagi mas, silahkan sandalnya
dilepas disini dan tas-nya dititipkan di penitipan tas disana. Terima kasih…” Pinta sang abdi dalam keraton yang
ber-blangkon sambil tersenyum.
Bertelanjang kaki aku menjekaki halaman luas tanah berpasir, sinar matahari
membias melalui milyaran klorofil dari rentetan pohon, bagaikan barisan
prajurit yang meneduhi Kompleks Kedhaton, Kraton Surakarta Hadiningrat, Solo.
Seakan menciptakan lukisan
alam di mana udara dan tanah adalah kanvas-nya, inilah perpaduan seni terindah
antara keangungan Tuhan dan kreatifitas manusia dalam menciptakan harmoni dalam
kehidupan di dunia.
Ternyata bukan cuma aku yang
merasakan nyamannya kompleks Kedhaton ini, dua wanita turis asing tadi itu juga
sibuk motret dan mendengarkan guide mereka menjelaskan tentang kompleks
Kedhaton ini. Tiba-tiba, aku punya sebuah ide yang cemerlang dengan
memanfaatkan guide dan dua turis tersebut.
Sambil jalan santai, aku
mendekati mereka dengan cara terus memotret sekeliling, setelah aku berada dua
langkah di belakang guide mereka, aku tinggal mengikuti mereka dan mendengarkan
penjelasan mengenai kompleks Kedhaton dari guide dengan gratis.
Di taman ini, Terdapat sebuah
bangunan dengan ruangan terbuka yang luas, ruangan tersebut bergaya arsitektur
dan desain interior khas jawa tengah, ditambah dengan beberapa patung dan lampu
bergaya eropa, menjadikan sebuah ciri yang sangat khas yang dimiliki oleh
Kraton Surakarta Hadiningrat.
Fungsi dari ruangan ini
sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keraton baik yang bersifat
upacara ritual maupun kegiatan yang berkaitan dengan pemerintahan di Kraton
Surakarta Hadiningrat, Solo. Dari yang aku ingat namanya adalah Joglo Kedhaton.
Sultan dan Nyi Roro Kidul, 11.25 WIB
“Menara yang seperti ini jadi tempat semedi?” kira-kira itulah fikiranku
saat itu ketika melihat dan mendengar penjelasan mengenai sebuah menara empat
lantai berwarna putih dengan gaya eropa kuno yang terdapat di sebelah timur
Joglo Kedhaton. Konon menara ini digunakan
sebagai tempat bersemedi dan berkomunikasi dengan Nyi Roro Kidul atau Ratu
Pantai Selatan.
Sama sekali tidak menampakkan
kesan menakutkan atau mencirikan sebagai sebuah tempat yang digunakan sebagai
tempat bersemedi. Keindahan arsitektur eropa kuno yang ada di menara ini,
menepis kesan angker sebuah tempat yang biasa digunakan sebagai tempat
berkomunikasi dengan dunia lain yang tak kasat mata.
0 comments:
Post a Comment