...Selamet Dateng @ Jepretan & Coretan ala Goblog...

Merinding di Kraton Solo



Alun-Alun Kidul Kuto Solo, 07.45 WIB

Dentuman itu satu persatu melambat bersambut dengan desis rem kereta yang menandakan perjalanan Lokomotif Bengawan pagi hari itu telah mencapai tujuannya di Stasiun Solo Jebres, Kota Solo.

Pagi yang hangat menguapkan hawa dingin dari dalam tubuh, silau matahari pagi menandakan sepertinya hujan enggan turun hari ini. Berarti, ini adalah awal yang baik untuk memulai sebuah perjalanan yang menarik di kota yang mempunyai banyak sudut yang artistik. Kota Surakarta atau lebih kita kenal dengan Kota Solo.

Kraton Surakarta Hadiningrat adalah yang menjadi tujuanku kali ini


Punya kebiasaan Nyasar selalu jadi bumbu dalam setiap perjalananku, dan “malu bertanya sesat di jalan” itulah sebuah pepatah tua yang selalu aku ingat dalam backpacking. Makanya aku bertanya arah tercepat untuk sampai ke Keraton, kepada seorang ibu penjual nasi liwet, “Ini lurus, nanti pertigaan ketiga, mas ke kidul, perempatan kedua ke kidul lagi saja, dari sana sudah dekat..” Itulah petunjuk sang penjual nasi liwet. Bagaimanapun aku coba mengingatnya, akhirnya aku salah ambil belokan dan tersadar setelah disapa oleh ibu penjual nasi liwet itu sekali lagi, “Lho kok sampe sini lagi mas? Nyasar yah?” tawa geli sang ibu penjual nasi liwet itu melihatku. Apalah artinya backpacking kalau tidak Nyasar, seperti nasi liwet tanpa ceker ayam dan sayur krecek. Kurang lengkap rasanya.

 

Ternyata, tidak jauh berbeda dengan kawasan sekitar keraton di Jogja, di kawasan keraton Solo juga dibatasi dengan tembok yang cukup tinggi dan pintu atau pagar yang juga besar untuk menandai kawasan khusus Sultan dan keluarganya dengan kawasan para abdi dalam keraton dan daerah bagi masyarakat biasa. 

Sebelum Indonesia ber-ideologi demokrasi Pancasila, Kerajaan adalah ideologi yang menata kehidupan masyarakat jaman dahulu dengan menempatkan harmoni diantara manusia sebagai tujuannya. Karena itu, kawasan-kawasan tersebut masih dijaga dengan baik keadaannya dan masih memiliki fungsi serta yang makna yang sama hingga saat ini dan masa yang akan datang, demi menjaga harmoni masyarakatnya.

Pelataran Kedhaton, 09.33 WIB

Koridor ini lebih tepat disebut sebagai museum Keraton Solo, karena wisatawan dapat memasuki beberapa ruangan pameran yang memajang benda-benda pusaka Keraton Solo, seperti senjata keris, tombak, tameng, panahan. Sebuah gerbang besar yang terbuka lebar menyambut bersahaja masyarakatnya yang datang, seakan mengucapkan selamat datang dengan senyum. Kekang kuda ditarik untuk menghentikkan laju kuda dan delman pun berhenti di sebuah pelataran yang cukup besar. “Disini mas tempatnya, silahkan…”. Langkah kaki ini seakan tak sabar memasuki sebuah bangunan yang begitu artistik dihadapanku. Perpaduan antara arsitektur eropa dengan arsitektur jawa menjadi ciri khas pintu masuk Keraton Solo.

 

Setelah membayar tiket masuk, aku mulai mencari objek-objek serta sudut-sudut menarik untuk dipotret. Karena hari ini adalah hari kerja dan aku datang saat pagi, jadi suasana di sana masih tenang dan sepi.

Apa yang pertama terlihat di dalam adalah sebuah koridor panjang yang dihiasi banyak lampu gantung bergaya belanda. Koridor ini berbentuk persegi panjang dan terdapat sebuah taman yang asri dan rindang ditengahnya. Sungguh sebuah perpaduan yang indah dan membuat ku nyaman berjalan mengelilinginya.

beberapa kereta kencana, dan lain-lain. Terdapat pula benda peninggalan penjajahan belanda seperti senjata api laras panjang, meriam, pistol, seragam tentara belanda, pedang dan lain-lain. Ada juga ruangan yang berisi lukisan-lukisan dan diorama yang menggambarkan perjuangan rakyat Solo melawan penjajahan belanda. Bahkan, terdapat juga benda-benda peninggalan zaman purbakala atau patung-patung berusia ribuan tahun yang dipajang di salah satu ruangan.

Merinding Pertama, 09.55 WIB

Beberapa ruangan di lorong ini pintunya terkunci rapat dan tidak dapat dimasuki. Aku masih berfikir positif karena pengunjung belum ramai atau ruangan itu belum dibersihkan. Tetapi, ketika aku melihat sebuah pintu tertutup yang gembok-nya terbuka, aku jadi tambah penasaran ada apa didalam ruangan tersebut?.

Awalnya agak ragu untuk masuk ke dalamnya, namun rasa ingin tahu ini lebih besar daripada rasa ragu dan takut. Akhirnya aku nekat membuka pintu dan masuk kedalam ruangan tersebut. 

Aku masuk ke dalam ruangan sengaja membawa gembok pintu tersebut, agar pintu itu tidak kunci dari luar oleh abdi dalam yang mungkin sedang lewat dan tidak menutup pintu itu dengan rapat agar aku dapat kabur dengan mudah apabila terjadi sesuatu. Karena akses keluar dan masuk hanya ada di satu pintu itu saja, semua jendela di tutup rapat dan diberi pengahalang besi seperti di penjara.

Perasaan yang muncul pertama kali saat memasuki ruangan ini adalah sepi. ruangan ini begitu gelap, lembab, dan bertebaran wangi sesajian bunga dan menyan. Setelah menemukan stopkontak lampu di samping pintu, 3 buah lampu 5 watt menyala untuk sedikit menerangi ruangan berbentuk persegi panjang ini. Ternyata, ruangan ini adalah ruangan penyimpanan benda-benda keramat milik Keraton, sepertinya benda-benda ini dipakai saat upacara ritual adat jawa Sekatenan, yang diselenggarakan pada malam satu suro. Hal ini terlihat dari banyaknya sesajian bunga dan menyan yang terdapat di dalam ruangan. Semakin ke dalam, aku semakin merinding.

Apa yang terdapat disini juga tidak kalah unik, ada senjata-senjata seperti keris, tombak, panahan, pedang dan tameng yang di balut dengan kain putih. Ada juga beberapa kotak kayu yang entah apa isinya, tetapi di sekeliling kotak tersebut terdapat sesajian yang ditata rapih.

Dan yang terakhir di ujung ruangan, berbaris rapih enam kepala patung kayu yang berwajah seram berukuran besar, tingginya rata-rata sekitar 1,5 meter. Setiap kepala memiliki bentuk, wajah dan warna yang berbeda, entah apakah kepala-kepala patung kayu yang menyeramkan ini juga dipakai untuk upacara sekatenan?.

Setelah mengubah setelan kamera digital ku dengan flashlight untuk kondisi nightmode, aku mulai memotret satu persatu benda-benda dalam ruangan tersebut, dan tidak ketinggalan memotret 6 buah kepala patung yang menyeramkan tadi. Selesai memotret, aku mematikan lampu ruangan dan keluar dari ruangan itu dengan mengembalikan seperti posisi semula, yaitu pintu tertutup dengan gembok yang terbuka. Aku meninggalkan ruangan itu dengan perasaan merinding dan lebih memilih untuk berjalan di taman yang terang.

Kereta Kencana, 10.04 WIB

Setelah merindingku reda, aku kembali memotret disekitar taman dan menemukan sebuah objek yang cukup menarik disudut koridor. Terdapat sebuah kereta kencana yang sudah usang, berwarna putih dengan arsitektur eropa dan disebelahnya tergantung cukup besar sebuah lukisan wanita cantik sbagaikan seorang ratu dengan latar belakang lautan. Ternyata ini adalah kereta kencana dari Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul. Setelah membaca penjelasannya, aku merinding lagi.

Setelah dua kali merinding, aku mulai berfikir untuk meninggalkan Keraton Solo dan memilih tempat wisata lain. Tetapi, Tiba-tiba sudut mata ini tertuju pada sebuah gerbang di mana terdapat dua orang wanita turis asing sedang dipakaikan kain batik yang menutupi celana pendek dan baju lengan pendek mereka sebelum memasuki sebuah halaman yang luas di balik gerbang itu. Dengan rasa penasaran tentang apa yang ada di balik gerbang tersebut dan pertanyaan kenapa mereka harus repot-repot memakai kain batik hingga menutupi tubuh mereka, aku melangkah pasti menuju gerbang itu dan menepis rasa takut yang hinggap tadi.

Joglo Kedhaton, 10.15 WIB

Sebelum mencapai gerbang, aku dihentikan oleh seorang bapak abdi dalam keraton. Matanya yang secara seksama memperhatikan aku dari atas sampai bawah, membuat ku berfikir kalau dia tahu aku habis masuk ruangan tadi. Ternyata... “Selamat pagi mas, silahkan sandalnya dilepas disini dan tas-nya dititipkan di penitipan tas disana. Terima kasih…” Pinta sang abdi dalam keraton yang ber-blangkon sambil tersenyum.

 

Bertelanjang kaki aku menjekaki halaman luas tanah berpasir, sinar matahari membias melalui milyaran klorofil dari rentetan pohon, bagaikan barisan prajurit yang meneduhi Kompleks Kedhaton, Kraton Surakarta Hadiningrat, Solo.

Seakan menciptakan lukisan alam di mana udara dan tanah adalah kanvas-nya, inilah perpaduan seni terindah antara keangungan Tuhan dan kreatifitas manusia dalam menciptakan harmoni dalam kehidupan di dunia.

Ternyata bukan cuma aku yang merasakan nyamannya kompleks Kedhaton ini, dua wanita turis asing tadi itu juga sibuk motret dan mendengarkan guide mereka menjelaskan tentang kompleks Kedhaton ini. Tiba-tiba, aku punya sebuah ide yang cemerlang dengan memanfaatkan guide dan dua turis tersebut.

Sambil jalan santai, aku mendekati mereka dengan cara terus memotret sekeliling, setelah aku berada dua langkah di belakang guide mereka, aku tinggal mengikuti mereka dan mendengarkan penjelasan mengenai kompleks Kedhaton dari guide dengan gratis.

Di taman ini, Terdapat sebuah bangunan dengan ruangan terbuka yang luas, ruangan tersebut bergaya arsitektur dan desain interior khas jawa tengah, ditambah dengan beberapa patung dan lampu bergaya eropa, menjadikan sebuah ciri yang sangat khas yang dimiliki oleh Kraton Surakarta Hadiningrat.


Fungsi dari ruangan ini sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keraton baik yang bersifat upacara ritual maupun kegiatan yang berkaitan dengan pemerintahan di Kraton Surakarta Hadiningrat, Solo. Dari yang aku ingat namanya adalah Joglo Kedhaton.

Sultan dan Nyi Roro Kidul, 11.25 WIB

“Menara yang seperti ini jadi tempat semedi?” kira-kira itulah fikiranku saat itu ketika melihat dan mendengar penjelasan mengenai sebuah menara empat lantai berwarna putih dengan gaya eropa kuno yang terdapat di sebelah timur Joglo Kedhaton. Konon menara ini digunakan sebagai tempat bersemedi dan berkomunikasi dengan Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan.

Sama sekali tidak menampakkan kesan menakutkan atau mencirikan sebagai sebuah tempat yang digunakan sebagai tempat bersemedi. Keindahan arsitektur eropa kuno yang ada di menara ini, menepis kesan angker sebuah tempat yang biasa digunakan sebagai tempat berkomunikasi dengan dunia lain yang tak kasat mata.

Seraya langkah kaki berlalu menuju dunia luar, aku tersenyum puas karena telah mendapatkan banyak pengalaman berkesan darinya. Semoga Kraton Surakarta Hadiningrat akan tetap arif dan bersahaja.

0 comments:

Post a Comment