...Selamet Dateng @ Jepretan & Coretan ala Goblog...

after Sunrise after Sunset

Lenggang lenggok Jakarta
Suka membuat orang lupa
Terpikat oleh manisnya cerita
Mudah jadi jutawan di sana

Ribuan mimpi-mimpi ada
Menggoda mereka
Jangankan kau cari surga dunia
Neraka dunia pun ada


Andi Mariam – Lenggang Lenggok Jakarta

Surga Berbau Amis

Sama sekali bukan halangan bagiku yang doyan makan seafood untuk berbaur dengan bau amis, jalanan becek dan beragam mahluk laut yang bergelimpangan di Pasar Ikan Muara Angke, Jakarta Utara.

Saking niatnya berangkat subuh, aku malah kepagian sampai di dermaga. Akhirnya balik lagi ke pasar dan motret jasad-jasad penghuni lautan yang sudah tak bernyawa.
Setengah jam berlalu, aku mulai mencari yang aku tuju di pagi ini. Sudut mata ini menemukan sebuah nama, Mandala. Itulah tulisan yang tertera di badan sebuah kapal kayu berukuran cukup besar yang sedang berlabuh di tepi dermaga. Warnanya kuning cerah dan tiga garis merah melintang disepanjang badan kapal. ”Tidung... Tidung... Tidung” teriakan sang anak buah kapal kian memantapkan langkahku. Pagi itu pemandangan yang paling sedap dilihat adalah langit Jakarta yang cerah, sekali melihat ke bawah, pemandangan sampah di tepi dermaga Muara Angke akan merusak segalanya.


Pukul 07.30 WIB kapal kami mulai mengarungi Teluk Jakarta. Ada sesuatu yang menarik ketika melaut ke Pulau Seribu. Laut berwarna hitam pekat bercampur tebaran sampah terlihat di tepian dermaga. Agak ke tengah, laut warnanya berubah cokelat kusam masih dengan tebaran sampahnya. Semakin ke tengah, warnanya menjadi hijau emerald dengan sampah organik yang bergelimpangan, dan di tengah laut, barulah warna biru laut yang cantik dan bersih tanpa sampah dapat dinikmati indahnya.

Makan Sifud
Sekitar 2 jam mengarungi lautan, Kapal Mandala merapat pada dermaga Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, dan Galau adalah kata pertama yang muncul ketika mendaratkan kaki di pulau ini. Nasi hangat lauk ikan bakar adalah obsesiku saat ini. Jadilah aku mendaratkan pantatku di sebuah gubug warung yang bertuliskan ”Warung Sifud”. Sejenak aku fikirkan apa arti dari papan nama itu, ”mas... makan seafood mas? ada ikan, udang, cumi...”. tak apalah arti fikiranku saat ini, aku cuma ingin makan di Warung Sifud.


Setelah hasrat makan seafood di Warung Sifud terpenuhi, karena tidak ada persiapan mau nginep dimana, dibanding mencari penginapan, aku lebih menikmati berkeliling pulau dengan sepeda sewaan. ”...kalau mau cari pantai yang masih perawan atau liat sunset, adanya di ujung barat pulau...”, kata ”perawan” itulah yang membuatku makin penasaran dan membuang kalimat terakhir yang berbunyi ”...satu jam jalan kaki dari dermaga...”

Sepertinya aku mudah sekali terprovokasi oleh kalimat terakhir dari penunggu Warung Sifud tadi, aku kira tadinya naik sepeda akan lebih cepat, hemat tenaga dan santai. Ternyata, sebaliknya...


Mengayuh sepeda di jalanan berpasir memang lebih berat dari yang aku bayangkan sebelumnya. Tenaga yang sudah terisi penuh di warung, seakan sudah hampir habis terkuras, ditambah panas matahari memperparah dahaga dan keringat asam bercucuran. Sudah lebih dari setengah jam aku mengayuh, sepertinya belum ada setengah jalan aku kesana.

Bale Bengong
Melewati barisan pohon-pohon bakau sebagai pemecah ombak alami, dan sepanjang jalan yang kulihat hanya pasir yang lurus terbentang. Tuhan Maha Tahu bagaimana menempatkan sudut terindah dari bumi untuk manusia. Haruslah kita berlelah dahulu kemudian nikmati dengan syukur. Hingga sampailah aku pada hamparan pasir putih berlanskap bulan sabit. Kusandarkan sepeda yang sama lelahnya disebuah bale bengong, kubiarkan dia menghadap pantai agar kita bisa sama-sama menikmati.



Sepertinya aku sudah begitu jauh dari pusat kota, tak terdengar bising distorsi atau polusi suara yang memakkakan telinga. Menikmati konser musik sang alam, deru gulungan ombak-ombak kecil di hamparan pasir dan senandung angin berdesir melalui lambaian dahan dan dedaunan. Sengaja aku pejamkan mata, agar khusyuk aku mendengar nada-nada tanpa partitur ini. Mungkin saat ini aku bermimpi, namun kenyataannya, aku masih berada dalam kawasan DKI Jakarta. Kepulauan Seribu bagiku, bagaikan surga tersembunyi di balik belantara hutan beton dan keegoisan penghuninya.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiMbxDdNuPPO_jwBMn0uuBXslFzFN2CmnkIDhOTq1QMqPVMVl3EUD072406MuQGE28CUAL_JHyzx311SeYXCzS26hPgLR7mM1k8b3nz3d4RULGM7uowuGVCh5vci32DJLUVB6AMGd8Oq3w/s320/100_1727.JPG

Sore menjelang, saat aku masih menikmati tiduran dalam bale bengong. Sedikit aku ingin cerita tentang bale bengong, dulu aku punya sebuah bale bengong di rumahku. Walau kecil dan hanya muat untuk 4 orang, tapi aku dan keluarga paling senang duduk santai, leyeh-leyeh atau istirahat di bale bengong. Sampai akhirnya bale bengong itu harus kami relakan untuk dibongkar untuk dijadikan tempat bagi Ibuku mencuci dan mejemur pakaian.

Pukul 16.14 WIB, datanglah dua orang dengan ransel besar, menghampiri pantai yang awalnya hanya ada aku sebagai penghuninya. Sesampainya mereka di pantai, aku undang mereka ke bale bengong ini. Jadilah kami berkenalan dan bertukar cerita, sambil menunggu momen sempurna saat tenggelamnya matahari di ufuk barat cakrawala.

Mereka adalah Riana dan Anton, sepasang kakak beradik dari Bandung. Setelah kami puas mengabadikan momen, satu undangan yang tak mungkin aku tolak terucap dari sepasang pejalan yang kini jadi teman perjalananku, ”kita bikin tenda di sini aja gimana? Masih cukup untuk bertiga...”.


Bir & Kopi Tubruk

Gelap tak selamanya membutakan, selalu ada titik-titik cahaya yang menjadi penuntun jalan. Dan sepertinya pantai ini bukan hanya milik kami bertiga lagi. Tak berapa lama setelah persiapan bangun tenda, beberapa pelancong juga datang bersamaan dengan datangnya malam. Bahkan, aku melihat ada sepasang turis asing yang baru sampai di bibir pantai, dengan tas besar dan sebuah kardus yang mereka bawa berdua. Tanpa perintah, tanpa undangan dan tanpa komando yang pasti, para pendatang ini akhirnya membentuk sebuah koloni tenda temporer berbentuk setengah lingkaran menghadap pantai. Seperti yang aku lakukan. dan akhirnya kami berkenalan satu sama lain, sungguh Indonesia sekali. merasa senasib sepenanggungan. Tapi, entah apa yang ada di fikiran sepasang bule kesasar itu. Sejak awal datang, dengan santainya mereka menggelar tikar dan sleeping bag persis di bibir pantai.

Natures colors all have changes somehow
The seas are brown the skies are thick and grey
All of these things make me fell so down
And think about finding my own place

A place where we can dance and drink
A place where we can share some weed
A place where there’s no bull shit
And everybody can come

Welcome to my paradise
Where the sky so blue
Where the sunshine so bright
Welcome to my paradise
Where you can be free
Where the party never ending


Steven and The Coconut Trees - Welcome To My Paradise


Rico, Tino dan Andi adalah tiga orang Rastaman dari Depok. Laksana kembang api bersautan dengan debur ombak di pantai dan menggema karena resonansi angin pantai, sungguh betapa mereka begitu pandainya membius sesama hanya dengan nada dan suara. Bahkan, Howie dan Sarah, kedua bule kesasar itupun akhirnya ikutan nimbrung sama kita disini.

Edo dan Nita adalah sepasang pengantin baru, dan sepertinya mereka salah memilih waktu untuk bulan madu di pantai ini malam ini. Hehehehe... Tapi, mereka berdua hebat, "...kumpulin donk semua bahan makanan kalian untuk malam ini, kita akan masakin yang enak tuk rame-rame..." sungguh sebuah usul yang cemerlang dan semua yang ada di sana nurut dengan sukarela. Akhirnya jadilah tinggal kami bertiga yang mempersiapkan api unggun.

"I'm afraid that I couldn't do anything for tonight, but I would like to share this for us here only..." Howie menyodorkan ke tengah kami sekardus bir kaleng, sekantong besar kopi bali asli, dan tiga botol air putih berukuran besar. "...yang haram itu bukan zat-nya tapi yang haram itu kalau menolak rejeki..." sambut Tino dengan senyum sumringah.

Rastaman bernyanyi, pengantin baru memasak, dua bule fotografer & tiga orang penari dadakan... Inilah arti bermalam untukku dan mungkin hanya disinilah terjadi bahwa bir dan kopi tubruk bersulang bersama tanpa ada perbedaan kata halal dan haram.

0 comments:

Post a Comment